Asas Kewarganegaraan: Sejarah di Indonesia dan Penjelasan Lengkapnya

Asas Kewarganegaraan

Kewarganegaraan merupakan hubungan yang paling sering dan kadang-kadang hubungan satu-satunya antara seorang individu dan suatu negara yang menjamin diberikannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu itu pada hukum internasional. Citizensip dapat sebagai etudes keanggotaan kolektivitas individu-individu dimana tindakan, keputusan dan kebijakan mereka diakui melalui konsep hukum negara yang mewakili individu- individu itu. Kewarganegaraan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 tahun 2006 adalah segala ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Hak atas kewarganegaraan sangat penting artinya karena merupakan bentuk pengakuan asasi suatu negara terhadap warga negaranya.

Adanya status Citizensip ini akan memberikan kedudukan khusus bagi seorang warga negara terhadap negaranya dimana mempunyai hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik dengan negaranya. Indonesia telah memberikan perlindungan hak anak atas Citizensip yang dicantumkan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana disebutkan bahwa setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Dengan adanya hak atas kewarganegaraan anak maka negara mempunyai kewajiban untuk melindungi anak sebagai warga negaranya dan juga berkewajiban untuk menjamin pendidikan dan perlindungan hak-hak anak lainnya.

Semula, untuk menentukan kewarganegaraan seseorang didasarkan atas 2 (dua) asas, yaitu :

  1. Asas Tempat Kelahiran (ius Soli), yaitu asas yang menetapkan Citizensip seseorang berdasarkan tempat kelahirannya. Asas ini dianut oleh negara-negara migrasi seperti USA, Australia dan Kanada. Untuk sementara waktu asas ius soli menguntungkan, yaitu dengan lahirnya anakanak dari para imigran di negara tersebut maka putuslah hubungan dengan negara asal. Namun dalam perjalanannya, banyak negara yang meninggalkan asas ias soli, seperti Belanda, Belgia dan lain-lain.
  2. Asas Keturunan (Ius Sanguinis), yaitu asas yang menetapkan Citizensip seseorang berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya (keturunannya) tanpa mengindahkan dimana dilahirkan. Asas ini dianut oleh negara yang tidak dibatasi oleh lautan seperti Eropa Kontinental dan Cina. Keuntungan dari asas ius sanguinis adalah :
    1. Akan memperkecil jumlah orang keturunan asing sebagai warga negara.
    2. Tidak akan memutuskan hubungan antara negara dengan warga negara yang lain.
    3. Semakin menumbuhkan semangat nasionalisme.
    4. Bagi negara daratan seperti Cina, yang tidak menetap pada suatu negara tertentu, tetapi keturunan tetap sebagai warga negaranya meskipun lahir di tempat lain (negara tetangga).

Namun sejak dikeluarkannya Undang-Undang Kewarganegaraan No.12 Tahun 2006, lebih memperhatikan asas-asas kewarganegaraan yang bersifat umum atau universal, yaitu :

  1. Asas ius sanguinis (law of the blood), adalah asas yang menentukan Citizensip seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
  2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas, adalah asas yang menentukan Citizensip seseorang, berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.
  3. Asas kewarganegaraan tunggal, adalah asas yang menentukan satu Citizensip bagi setiap orang.
  4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan Citizensip ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang. Status kewarganegaraan secara yuridis diatur oleh peraturan perundang-undangan nasional. Tetapi dengan tidak adanya uniformiteit dalam menentukan persyaratan untuk diakui sebagai warga negara dari berbagai akibat dari perbedaan dasar yang dipakai dalam Citizensip maka timbul berbagai macam permasalahan kewarganegaraan.

Permasalahan kewarganegaraan yang muncul adalah adanya kemungkinan seseorang mempunyai kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride).

  1. Dwi Kewarganegaraan (Bipatride) Bipatride terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya menganut asas ius sangunis lahir di negara lain yang menganut asas ius soli, maka kedua negara tersebut menganggap bahwa anak tersebut warga negaranya. Sebagai contoh, sebelum ada perjanjian Menteri Luar Negeri Indonesia, Soenario dan Menteri Luar Negeri Cina, Chow, orang Cina yang berdomisili di Indonesia (ius soli) merupakan warga negara Indonesia dan warga negara Cina (ius sangunis). Untuk mencegah bipatride, maka Undang-Undang No.62 Tahun 1958 Pasal 7 dinyatakan bahwa seorang perempuan asing yang kawin dengan laki laki warga negara Indonesia dapat memperoleh Citizensip Indonesia dengan melakukan pernyataan dengan syarat bahwa dia harus meninggalkan kewarganegaraan asalnya.
  2. Tanpa Kewarganegaraan (Apatride) Terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya menganut asas ius soli lahir di negara yang menganut ius sungunis. Sebagai contoh, orang Cina yang pro Koumintang, tidak diakui sebagai warga RRC, sedangkan Taiwan sebagai negara asal pada 1958 belum ada hubungan diplomatik dengan Indonesia, maka mereka juga tidak diakui sebagai warga negara Taiwan, sehingga mereka merupakan “defacto apatride“. Untuk mencegah apatride, Undang-Undang Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958 Pasal 1 huruf f menyatakan bahwa anak yang lahir di wilayah Indonesia, selama orang tuanya tidak diketahui adalah warga negara Indonesia. Sementara bagi orang Cina, sebelurn lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958, untuk menentukan Citizensip diadakan perjanjian antara Indonesia dengan Cina yang dikenal dengan perjanjian Soenario-Chow pada tanggal 22 April 1955 yang diundangkan dengan Undang-Undang No.2 Tahun 1958, berisi bahwa semua orang Cina yang berdomisili di Indonesia harus mengadakan pilihan kewarganegaraan dengan tegas dan secara tertulis.

Status kewarganegaraan adalah hal penting bagi setiap individu dan sudah menjadi hak individu tersebut untuk memilih status kewarganegaraannya. Alasan pentingnya kewarganegaraan dalam hukum internasional adalah sebagai berikut :

  1. Hak atas perlindungan diplomatik di luar negeri merupakan atribut esensial kewarganegaraan. Negara bertanggung jawab melindungi warganya yang berada di luar negeri.
  2. Negara dimana seseorang merupakan warga negaranya menjadi bertanggung jawab kepada negara yang satu lagi jika ia gagal dalam kewajibannya untuk mencegah tindakan-tindakan salah tertentu yang dilakukan oleh orang ini atau gagal menghukumnya setelah tindakan-tindakan salah ini dilakukan.
  3. Pada umumnya, suatu negara tidak menolak untuk menerima kembali warga negaranya sendiri di wilayahnya. Pasal 12 ayat (4) Perjanjian Intemasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 menetapkan: ”Tak seorang pun boleh secara sewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya”
  4. Kewarganegaraan menuntut kesetiaan dan salah satu bentuk utama kesetiaan itu ialah kewajiban melaksanakan wajib militer bagi Negara terhadap mana kesetiaan ini harus diberikan.
  5. Suatu negara mempunyai hak umum (kecuali ada traktat khusus yang mengikat) untuk menolak mengekstradisi warga negaranya kepada suatu negara lain yang meminta supaya diserahkan.
  6. Status musuh dalam perang ditentukan oleh kewarganegaraan orang yang bersangkutan.
  7. Negara-negara sering melaksanakan yurisdiksi pidana atau yurisdiksi lain berdasarkan status Citizensip.

Dalam sebuah negara akan terdapat warga negara dan orang asing. Warga negara mempunyai hak dan tanggung jawab yang besar dibandingkan orang asing. Warga negara, dimanapun ia berada akan tetap mempunyai hubungan dengan negaranya selama ia tidak melepaskan kewarganegaraannya tersebut. Sedangkan orang asing hanya memiliki hubungan dengan negara selama berdomisili di negara tersebut. Dalam Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2006, dijelaskan bahwa: “Warga Negara Indonesia” adalah :

  1. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan atau berdasarkan perjanjian Pemerintah RI dengan negara lain sebelum UndangUndang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia.
  2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia.
  3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing.
  4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu warga negara Indonesia.
  5. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang seorang ibu warga negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
  6. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia.
  7. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indonesia.
  8. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun saat belum kawin.
  9. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
  10. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
  11. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
  12. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan status Citizensip kepada anak yang bersangkutan.
  13. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan Citizensip dari ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Sedangkan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan mengenai orang asing, yaitu: “Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing” Sebelum adanya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, Indonesia berpedoman kepada Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 yang berlaku sejak diundangkan pada tanggal 1 Agustus 1958. Beberapa hal yang diatur dalam Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 adalah mengenai ketentuan-ketentuan siapa yang dinyatakan berstatus warga negara Indonesia, naturalisasi atau pewarganegaraan biasa, akibat pewarganegaraan, pewarganegaraan istimewa, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, dan siapa yang dinyatakan berstatus orang asing. Untuk mengetahui status anak yang lahir dalam perkawinan campuran, Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan mengaturnya sebagai berikut:

  1. Pada dasarnya Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan menganut asas ius sangunis seperti yang terdapat dalam Pasal 1 huruf b, banwa orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya seorang warga negara Indonesia dengan pengertian hubungan tersebut telah ada sebelum anak tersebut berumur 18 tahun, atau sebelum ia kawin dibawah 18 tahun. Keturunan dan hubungan darah antara ayah dan anak dipergunakan sebagai dasar menentukan kedudukan kewarganegaraan anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Seorang anak dianggap memiliki status kewarganegaraan seorang ayah, bila ada hubungan keluarga. Jadi bila anak lahir dari perkawinan yang sah seperti disebut dalam Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka kewarganegaraan ayah dengan sendirinya menentukan status kewarganegaraan anaknya.
  2. Pasal 1 huruf c Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan dalam 3000 hari setelah ayahnya wafat, apabila waktu meninggal dunia ayahnya adalah warga negara Indonesia, maka anak tersebut memperoleh warga negara Indonesia.
  3. Anak yang belum berumur 18 tahun pada waktu ayahnya memperoleh atau melepaskan kewarganegaraan RI dan antara ayah dan anak terdapat hubungan hukum keluarga. Bila ayahnya memperoleh kewarganegaraan RI karena naturalisasi, maka anak yang belum berumur 18 tahun memperoleh kewarganegaraan RI dan anak tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia (Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan).
  4. Anak dapat kehilangan kewarganegaraan RI bila ayah atau ibunya kehilangan kewarganegaraan RI (Pasal 16 Undang-Undang No. 62 Tahun 1958).

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, sering kali terjadi masalah terhadap WNI. Seperti yang kita ketahui bahwa menurut Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama Indonesia menganut asas ius sanguinis. Meskipun lahir di Indonesia, status kewarganegaraannya adalah warga negara asing. Jika terjadi sesuatu, mereka akan sangat rentan untuk dideportasi. Misalnya jika orang tuanya lupa memperpanjang visa anaknya. Banyak anak-anak dideportasi karena lupa memperpanjang visa. Ketika perceraian terjadi, muncullah persoalan yang semakin rumit.

Meskipun sang anak mengikuti ibunya yang WNI, namun status kewarganegaraannya tetap mengikuti ayahnya yang WNA sekalipun ayahnya sudah tidak tinggal di Indonesia. Masalah lain yang timbul adalah adanya ketentuan sejumlah negara, seperti Inggris, yang menolak memberikan kewarganegaraan terhadap anak dari lelaki Inggris yang lahir di luar negeri. Hanya pria Inggris yang bekerja untuk kerajaan atau yang bekerja di negara-negara Uni Eropa yang anaknya berhak mendapatkan Citizensip Inggris. Akibatnya, anak tersebut kehilangan kewarganegaraan atau stateless. Solusinya adalah orangtuanya mengajukan permohonan ke pengadilan agar anaknya mendapat Citizensip Indonesia.

Dalam hal terjadi perkawinan campuran, Undang-Undang No.62 Tahun 1958 memiliki perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Didalam Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa perernpuan WNA yang menikah dengan laki-laki WNI boleh segera menjadi WNI setelah ia mengajukan permohonan untuk itu dengan syarat melepaskan Citizensip asal, tetapi bila laki-laki WNA menikah dengan perempuan WNI tidak memperoleh perlakuan hukum yang sama. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap status Citizensip anaknya karena kewarganegaraan anak mengikuti kewarganegaraan bapaknya.

Dengan demikian jelaslah bahwa Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 ini sangat mendiskriminasikan wanita. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 5 Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita (Declaration on the Elimination of Discrimination against Women) yang diterima oleh Majelis Umum PBB November 1967 di mana ditetapkan bahwa para wanita harus mempunyai hak-hak yang sama seperti para lelaki untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya. Kawin dengan seorang asing tidak otomatis menyebabkan hilangnya Citizensip aslinya atau Citizensip suaminya dipaksakan kepadanya.

Prinsip yang diusulkan di atas dijelaskan dengan kata-kata yang lebih rinci dalam Pasal 9 Konvensi 1979 tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Ayat (1) menetapkan ”Negara-negara peserta harus memberi kepada para wanita hak-hak yang sama seperti laki laki untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya. Mereka akan menjamin bahwa baik perkawinan dengan orang asing maupun perubahan Citizensip oleh suami selama perkawinan tidak akan otomatis mengubah kewarganegaraan si istri, membuat dia tanpa kewarganegaraan, atau memaksakan kepada kewarganegaraan suaminya”. Dan Pasal 9 ayat ( 2 ) berbunyi : ”Negara-negara peserta akan memberikan kepada wanita hak-hak yang sama seperti laki-laki mengenai kewarganegaraan anak-anak”. Dengan melihat kenyataan bahwa Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 masih belum memberikan keadilan dan memiliki banyak kelemahan, maka dibuatlah Undang-Undang Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 yang lebih memberikan keadilan.

artikelpendidikan.id merupakan situs berita online tentang informasi terkini seputar artikel pendidikan serta informasi terkait pengertian definisi terbaru dan terupdate.
Back to top button